Setelah tragedi WTC 11 September 2001 pemahaman tentang teroris dan terorisme cenderung direduksi sedemikian rupa, sehingga setiap kali menyebut kata ‘teroris’ dan ‘terorisme’, yanf ada dibenak sebagian besar masyarakat adalah Al-Qaidah pimpinan Usama bin Laden dan kaum teroris Islam lainnya. Kemudian berkembang stigma yang menyamakan kaum fundamentalis (baca: anti-AS) sebagai teroris. Lalu, yang paling ironis, stigma yang menyamakan atau minimal mengidentikkan Muslim dengan teroris atau Islam dengan terorisme. Fenomena ini begitu mudah dilihat di sejumlah website di internet yang mengkhususkan kajian pada persoalan terorisme.
Padahal, teroris dan terorisme jelas tidak hanya monopoli kalangan Islam. Cukup banyak contoh teroris yang bukan Islam, seperti Aum Shinrikyo di Jepang, kelompok Basque di Spanyol, IRA di Irlandia/Inggris, Macan Tamil di Sri Lanka, Kahane Chai di Israel, kelompok November 17 di Yunani, Tupac Amaru di Peru, FARC di Kolombia dan kelompok ‘American Millitant Extremists’ di AS sendiri.
Tapi, itu tadi, stigma bahwa Islam identik dengan terorisme tampaknya cukup sukses dikembangkan melalui berbagai kampanye disinformasi jaringan intelijen Amerika (CIA) dan Israel (Mossad) yang didukung oleh media massa kelas dunia milik para konglomerat Yahudi (surat kabar New York Times, Washington Post, Wall Street Journal, majalah Time, Newsweek, US News, World Report, stasiun CNN, ABC, CBS, NBC). Ketika mereka menyebut kata ‘teroris’, persepsi yang bekembang secara otomatis adalah bukan sekedar Al-Qaidah atau Usamah bin Laden atau Abu Bakar Ba’asyir, melainkan juga Islam secara keseluruhan. Ketika seorang pejabat negara bilang ‘jaringan Al-Qaidah berada di belakang kasus Bali’, masyarakat di bawah menangkapnya sebagai ‘orang Islamlah yang melakukan pengeboman’. Efek dominonya, ‘semua orang Islam harus diwaspadai’. Dalam kondisi hubungan sosial kemasyarakatan di republik ini yang masih rentan, pernyataan semacam itu jelas mengandung resiko yang tidak kecil.
Kasus bom Bali merupakan bagian dari skenario besar perang melawan terorisme, yang dalam realitasnya semakin mengarah pada kebijakan anti-Islam, yang tengah dijalankan Presiden AS George W. Bush.
Bali adalah dinas intelijen AS, CIA, yang berkolaborasi dengan dinas intelijen Israel, Mossad, yang bisa jadi juga melibatkan elemen-elemen tertentu di dalam negeri Indonesia. Adapun tujuan utamanya adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk membenarkan asumsi yang sudah cukup lama dikembangkan bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang terorisme Islam. Secara sistematis kampanye disinformasi mengenai hal ini bahkan sudah dikembangkan jauh sebelum terjadinya tragedi WTC.
Kedua, untuk menekan pemerintah Megawati agar segera membungkam gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang belakangan makin marak dan makin galak, terutama terhadap konspirasi AS-Israel. Abu Bakar Ba’asyir adalah target utamanya. Tapi, jelas ia bukan satu-satunya.
Ketiga, untuk memecah belah Negara Kesatuan RI menjadi Negara-negara kecil agar mudah dikuasai dan dikendalikan AS, terutama mengingat kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah yang ada di bumi Indonesia ini.
Keempat, untuk menekan pemerintah Megawati agar mendukung invasi militer AS ke Irak, yang sudah lama hampir pasti akan dilakukan mengingat besarnya ambisi perang Bush. Ini juga berkaitan dengan makin meluasnya aksi-aksi yang menentang rencana invasi militer AS ke Irak. Namun, dengan terjadinya bom di Bali justru akan semakin memperkuat legitimasi bagi Bush untuk menyerang Irak. Dengan kata lain, jika sebelum tragedi Bali banyak warga dunia yang menolak rencana perang Bush, kini hampir dipastikan keadaannya akan berbalik.
‘Doktrin Bush’ pasca tragedi WTC hanya memberi dua pilihan secara hitam-putih bagai bangsa-bangsa di dunia: untuk mendukung AS atau kaum teroris. Artinya, siapa pun yang tak mau mendukung perang melawan terorisme, secara otomatis akan dianggap sebagai berpihak pada kaum teroris. Tak ada wilayah abu-abu (grey area) di tengahnya. Tidak perduli dengan soal HAM dan demokrasi. Padahal seperti sudah disinggung, pengertian tentang teroris dan terorisme sudah direduksi sedemikian rupa.
Tidak terlalu aneh jika, dalam hitungan jam, pemerintah Australia sudah bisa memastikan bahwa yang berada di belakang bom Bali adalah kelompok Jamaah Islamiyah (= ‘umat Islam’?) yang merupakan bagian dari Al-Qaidah. Ketika AS sudah menyebut Al-Qaidah, dan Australia menyebut Jamaah Islamiyah, cepat atau lambat yang lain akan mengikutinya bagaikan koor paduan suara. Jadi, terserah apakah kita percaya atau tidak konspirasi licik yang dilakukan pemerintah dan dinas intelijen AS dan Israel (mungkin juga diikuti oleh intelijen Australia dan Inggris) terhadap Indonesia.
Jika pemerintah Megawati memang takut kepada Bush dan tak percaya telah terjadi konspirasi pemerintah dan intelijen asing ini, untuk apa menghabiskan dana guna menyelidiki siapa pelaku bom Bali? Toh, sudah jelas pelakunya, yaitu Al-Qaidah dan umat Islam. Habisi saja mereka seperti yang pernah dilakukan rejim Soeharto (Priok, Talangsari, Komando Jihad dan lain-lain), maka bantuan luar negeri akan segera membanjiri dan kita akan dianggap sebagai teman sejati Bush yang paling sukses membasmi terorisme. Tak usah pedulikan HAM dan demokrasi. Bukankah Bush pun sudah tak menghiraukannya lagi?
Sumber ; hidayatullah.com/21/10/2002/konspirasi-intelijen-amerika-dan-israel.html
Original Source : Koran Tempo, 18 Oktober 2002 yang ditulis oleh : Dr. Riza Sihbudi, Ahli Peneliti Utama LIPI
Padahal, teroris dan terorisme jelas tidak hanya monopoli kalangan Islam. Cukup banyak contoh teroris yang bukan Islam, seperti Aum Shinrikyo di Jepang, kelompok Basque di Spanyol, IRA di Irlandia/Inggris, Macan Tamil di Sri Lanka, Kahane Chai di Israel, kelompok November 17 di Yunani, Tupac Amaru di Peru, FARC di Kolombia dan kelompok ‘American Millitant Extremists’ di AS sendiri.
Tapi, itu tadi, stigma bahwa Islam identik dengan terorisme tampaknya cukup sukses dikembangkan melalui berbagai kampanye disinformasi jaringan intelijen Amerika (CIA) dan Israel (Mossad) yang didukung oleh media massa kelas dunia milik para konglomerat Yahudi (surat kabar New York Times, Washington Post, Wall Street Journal, majalah Time, Newsweek, US News, World Report, stasiun CNN, ABC, CBS, NBC). Ketika mereka menyebut kata ‘teroris’, persepsi yang bekembang secara otomatis adalah bukan sekedar Al-Qaidah atau Usamah bin Laden atau Abu Bakar Ba’asyir, melainkan juga Islam secara keseluruhan. Ketika seorang pejabat negara bilang ‘jaringan Al-Qaidah berada di belakang kasus Bali’, masyarakat di bawah menangkapnya sebagai ‘orang Islamlah yang melakukan pengeboman’. Efek dominonya, ‘semua orang Islam harus diwaspadai’. Dalam kondisi hubungan sosial kemasyarakatan di republik ini yang masih rentan, pernyataan semacam itu jelas mengandung resiko yang tidak kecil.
Kasus bom Bali merupakan bagian dari skenario besar perang melawan terorisme, yang dalam realitasnya semakin mengarah pada kebijakan anti-Islam, yang tengah dijalankan Presiden AS George W. Bush.
Bali adalah dinas intelijen AS, CIA, yang berkolaborasi dengan dinas intelijen Israel, Mossad, yang bisa jadi juga melibatkan elemen-elemen tertentu di dalam negeri Indonesia. Adapun tujuan utamanya adalah sebagai berikut:
Pertama, untuk membenarkan asumsi yang sudah cukup lama dikembangkan bahwa Indonesia merupakan salah satu sarang terorisme Islam. Secara sistematis kampanye disinformasi mengenai hal ini bahkan sudah dikembangkan jauh sebelum terjadinya tragedi WTC.
Kedua, untuk menekan pemerintah Megawati agar segera membungkam gerakan-gerakan Islam di Indonesia yang belakangan makin marak dan makin galak, terutama terhadap konspirasi AS-Israel. Abu Bakar Ba’asyir adalah target utamanya. Tapi, jelas ia bukan satu-satunya.
Ketiga, untuk memecah belah Negara Kesatuan RI menjadi Negara-negara kecil agar mudah dikuasai dan dikendalikan AS, terutama mengingat kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah yang ada di bumi Indonesia ini.
Keempat, untuk menekan pemerintah Megawati agar mendukung invasi militer AS ke Irak, yang sudah lama hampir pasti akan dilakukan mengingat besarnya ambisi perang Bush. Ini juga berkaitan dengan makin meluasnya aksi-aksi yang menentang rencana invasi militer AS ke Irak. Namun, dengan terjadinya bom di Bali justru akan semakin memperkuat legitimasi bagi Bush untuk menyerang Irak. Dengan kata lain, jika sebelum tragedi Bali banyak warga dunia yang menolak rencana perang Bush, kini hampir dipastikan keadaannya akan berbalik.
‘Doktrin Bush’ pasca tragedi WTC hanya memberi dua pilihan secara hitam-putih bagai bangsa-bangsa di dunia: untuk mendukung AS atau kaum teroris. Artinya, siapa pun yang tak mau mendukung perang melawan terorisme, secara otomatis akan dianggap sebagai berpihak pada kaum teroris. Tak ada wilayah abu-abu (grey area) di tengahnya. Tidak perduli dengan soal HAM dan demokrasi. Padahal seperti sudah disinggung, pengertian tentang teroris dan terorisme sudah direduksi sedemikian rupa.
Tidak terlalu aneh jika, dalam hitungan jam, pemerintah Australia sudah bisa memastikan bahwa yang berada di belakang bom Bali adalah kelompok Jamaah Islamiyah (= ‘umat Islam’?) yang merupakan bagian dari Al-Qaidah. Ketika AS sudah menyebut Al-Qaidah, dan Australia menyebut Jamaah Islamiyah, cepat atau lambat yang lain akan mengikutinya bagaikan koor paduan suara. Jadi, terserah apakah kita percaya atau tidak konspirasi licik yang dilakukan pemerintah dan dinas intelijen AS dan Israel (mungkin juga diikuti oleh intelijen Australia dan Inggris) terhadap Indonesia.
Jika pemerintah Megawati memang takut kepada Bush dan tak percaya telah terjadi konspirasi pemerintah dan intelijen asing ini, untuk apa menghabiskan dana guna menyelidiki siapa pelaku bom Bali? Toh, sudah jelas pelakunya, yaitu Al-Qaidah dan umat Islam. Habisi saja mereka seperti yang pernah dilakukan rejim Soeharto (Priok, Talangsari, Komando Jihad dan lain-lain), maka bantuan luar negeri akan segera membanjiri dan kita akan dianggap sebagai teman sejati Bush yang paling sukses membasmi terorisme. Tak usah pedulikan HAM dan demokrasi. Bukankah Bush pun sudah tak menghiraukannya lagi?
Sumber ; hidayatullah.com/21/10/2002/konspirasi-intelijen-amerika-dan-israel.html
Original Source : Koran Tempo, 18 Oktober 2002 yang ditulis oleh : Dr. Riza Sihbudi, Ahli Peneliti Utama LIPI