Terlibatnya agen-agen Cekoslowakia yang ikut bermain dalam peristiwa G/30/S tahun 1965 sesungguhnya bukan fakta baru. Sejumlah bukti sejarah telah mengindikasikan adanya campur tangan agen Ceko dalam pembuatan apa yang dikenal sebagai “Dokumen Gilchrist”.
Selama beberapa waktu departemen operasionil Asia-Afrika dalam dinas intelijen Cekoslowakia tidak tahu, bagaimana melanjutkan kasus tuan Polan ini. Sebagai anak mas perdana menteri R.I. Dr Subandrio, tugasnya di luar negeri sebagai seorang diplomat dan perwira intelijen, sangat menarik perhatian dinas rahasia Cekoslowakia Praha berhasil untuk mengadakan kontak langsung dengan dia.
Kami tidak berkeberatan, jika ia menyenangi wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Kami usahakan sebuah apartemen kecil mungil, lengkap dengan perabotnya, di mana ia dapat melampiaskan hawa nafsunya. Wanita muda yang cantik-cantik diinstruksikan untuk membangun perasaan aku-nya atau egonya. Tidak jelas bagi kami, apakah tuan Polan itu menganggap perhatian kami terhadapnya sebagai tanda persahabatan politis dari pemerintah Cekoslowakia terhadap Indonesia atau sebagai bantuan kami dalam intrik intelijen.
Walau pun ia telah banyak berhutang budi pada dinas intelijen Cekoslowakia, ia tidak merasa telah diiadikan agen rahasia. Perasaan kebangsaannya kuat sekali dan politis ia sangat tertarik pada Komunisme ala Peking sungguhpun begitu ia tahu bahwa ia telah dijadikan penyalur berbagai berita anti-Amerika kepada pemerintah Indonesia, waktu Cekoslowakia dan Rusia menetapkan untuk menggunakan ia.
Laporan-laporan dan dokumen-dokomen yang diterimanya dari dinas intelijen Cekoslowakia, tidak pernah disebut informasi palsu. Sebaliknya, nilai dan arti daripada dokumen-dokumen/laporan-laporan itu dijaminnya. Tidak mustahil, Subandrio secara tidak resmi mengetahui hubungan duta besarnya dengan departemen intelijen Cekoslowakia: mungkin ia membiarkan hubungan itu untuk mendapatkan “bahan penting”: dengan cara bagaimanapun juga. Departemen D tidak berkewajiban untuk membimbing agen-agen rahasia di luar negeri, hal itu dilakukan oleh departemen-departemen operasionil yang bersangkutan. Kenyataan, bahwa Mayor Louda, perwira senior pada Departemen D, sekaligus menjadi perwira kasus untuk tuan Polan, termasuk suatu pengecualian Penetapan itu tepat sekali karena gagasan untuk menggunakan tuan Polan bagi penyaluran informasi palsu dalam permainan ini, yang akan menyulitkan penghidupan orang-orang Amerika di Indonesia, adalah gagasan Louda sendiri.
Operasi Louda ini timbul dalam tahun 1964. karena munculnya suatu gerakan baru di Indonesia yang menuntut, agar film-film Amerika dilarang masuk. Organisasi yang bernama “Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika” (Action Committee for the Boycott of United States Films), berkeyakinan, bahwa film-film Amerika merusak moral dan semangat revolusi bangsa Indonesia. Tidaklah efisien untuk Departemen D untuk menciptakan bukti baru mengenai “kemerosotan moral kebudayaan Amerika” serta pengaruh film-film Amerika yang merusak, dan menyajikan propaganda tambahan ini kepada masyarakat Indonesia. Pendekatan yang lebih efektif ialah menciptakan bukti korban-korban hidup yang melambangkan “imperialisme Amerika dengan otaknya CIA.”
William Palmer, direktur “Association of American Film Importers” (Gabungan Importir Film Amerika) di Indonesia telah dipilih sebagai korban untuk tujuan di atas. Sesungguhnya kami tidak mempunyai bukti nyata dan meyakinkan, bahwa Palmer itu adalah agen CIA, kami hanya dapat menyangka saja. Akan tetapi pergaulannya yang luas dengan kalangan politik tertinggi di Indonesia, demikian pula dengan masyarakat ramai, serta sumber-sumber keuangannya yang tidak kering-keringnya, telah mentakdirkan dia menjadi lambang penjelmaan pengaruh Amerika di Indonesia, simbol dari segala kejahatan.
Berdasarkan laporan yang tidak pasti dan terpisah-pisah, kami telah menyusun satu berkas keterangan bahwa Palmer adalah agen CIA yang paling utama di Indonesia. Menurut tujuan semula, Operasi Palmer itu hanya merupakan pencak silat di belakang layar yang sudah lazim di antara dinas-dinas intelijen Timur dan Barat, untuk saling mengganggu dan mempersempit ruang gerak. Akan tetapi operasi ini berkembang melampaui tujuannya semula dan menjadi suatu faktor yang mudah meledak dalam hubungan Amerika-Indonesia dan dalam politik dalam negeri Indonesia.
Saluran anonim.
Duta besar Polan bukanlah satu-satunya saluran dalam Operasi Palmer itu. Beberapa orang wartawan Indonesia, yang dipergunakan oleh agen-agen rahasia Cekoslowakia, merupakan saluran yang lebih penting lagi dalam memperhebat kampanye anti Amerika di dalam negeri. Beberapa kali dalam kelangsungan operasi itu mereka telah menerima konsep artikel-artikel yang mereka olah dengan gaya jurnalistik mereka sendiri dan dengan istilah-istilah politik Indonesia, yang pada bagian terakhir dari kekuasaan Sukarno lebih edan lagi daripada istilah-istilah politik di Moskow.
Kami juga berhasil baik dalam menggunakan saluran-saluran anonim (pengiriman yang merahasiakan nama serta alamat pengirimnya) untuk mengirimkan dokumen palsu dan informasi yang diputar-balikkan kepada pemuka politik, organisasi massa dan redaktur surat kabar Indonesia. Sebuah sumber di luar Indonesia telah memulai operasi itu. Bahan yang menuduh Palmer melakukan kegiatan-kegiatan subversif di Indonesia, muncul dalam harian Ceylon Tribune pada tanggal 12 September 1964.
Artikel itu memperkenalkan nama William Palmer. Menurut Ceylon Tribune itu, Palmer akan melarikan diri secara diam-diam ke Malaysia untuk meneruskan kegiatan-kegiatan subversifnya terhadap Indonesia dari sana. Artikel itu, yang pada tanggal 30 September 1964 dipetik oleh salah satu suratkabar Singapura yang diterbitkan oleh Barisan Sosialis. menyatakan: Jaringan spionase ini menggunakan sebagai selubungnya sebuah organisasi, bernama Gabungan Importir Film Amerika (Association of American Film Importers).
Dikabarkan, bahwa organisasi ini mewakili sembilan buah? maskapai film Amerika. Penghasilannya setiap bulan tidak kurang dari dua juta. Uang itu dipakai untuk membiayai partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang reaksioner serta untuk menyogok pemimpin-pemimpin politik, pejabat-pejabat eksekutif yang terkemuka dan untuk kegiatan-kegiatan rahasia lainnya ….William Palmer adalah manager gabungan itu. Ia adalah seorang agen rahasia Amerika Serikat yang paling utama dan aktif di Indonesia ia mempunyai hubungan dengan pemberontak-pemberontak Indonesia, dengan Partai Masyumi (sebuah organisasi Islam), semuanya itu pengaruh-pengaruh anti pemerintah, anti Sukarno dan reaksioner, … William Palmer juga telah membentuk sel-selnya dalam partai-partai politik departemen-departemen pemerintah dan angkatan bersenjata yang membantunya untuk mengumpulkan informasi dan rahasia-rahasia negara….
Sungguhpun kegiatan-kegiatannya itu sudah sejak lama dan telah banyak mendapat kepercayaan masyarakat, akhirnya kedok William Palmer terbuka juga basisnya untuk meneruskan kegiatan-kegiatan subversinya tidak dapat dipertahankan. Ia harus meninggalkan Indonesia. Yang merupakan teka-teki bagi pejabat- pejabat Inggris di Singapura ialah persetujuan London untuk beroperasi di Malaysia. Jelaslah bahwa hal ini ada sangkut pautnya dengan seluruh proses pengawasan dan pengaruh Amerika Serikat atas Malaysia.
Artikel nengenai Palmer banyak menarik perhatian orang, baik di Indonesia maupun di Malaysia, dan memberikan dorongan baru kepada “Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika. “Organisasi itu mengadakan konperensi selama lima hari pada akhir bulan Oktober 1964, di mana diputuskan untuk meneruskan pemboikotan film-film Amerika. Salah satu resolusinya mendesak dengan tegas supaya semua kegiatan gabungan film-film Amerika di Indonesia itu dihentikan dengan segera.
Pers Indonesia yang secara luas sekali menguraikan kejadian itu, menyerang Amerika Serikat bukan saja sehubungan dengan pemboikotan film-film Amerika, akan tetapi juga bertalian dengan tibanya sebuah misi militer Amerika di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tanggal 11 Nopember 1964. Pada tanggal 12 Nopember 1964 suratkabar Indonesia Warta Bhakti menegaskan, bahwa kedatangan misi Amerika itu di Malaysia merupakan suatu “petunjuk yang nyata, bahwa Amerika Serikat terang-terangan memihak kepada negara boneka yang ditelorkan oleh imperialisme Inggeris”. Warta Bhakti, sambil menunjuk pada usaha-usaha Dutabesar Amerika Serikat Jones untuk memperbaiki hubungan-hubungan Indonesia-Amerika, memperingatkan, bahwa daya-upaya Jones itu akan sia-sia belaka jika para perancang di Amerika Serikat tidak memperhatikan peringatan-peringatan Presiden Sukarno yang diucapkannya dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus dan dalam aksi-aksi pemboikotan film-film imperialis Amerika.”
Indonesia, yang di bawah pimpinan Presiden Sukarno besar sekali hutangnya kepada Rusia dan Negara-negara Barat, merana karena kekacauan ekonomi, inflasi, ketegangan-ketegangan di dalam negeri, dan tercengkeram rasa benci terhadap Malaysia, benar-benar merupakan korban yang empuk bagi kegiatan-kegiatan intelijen Komunis. Dengan mudah saja orang mengatakan, bahwa semua kesulitan-kesulitan zaman dahulu, sekarang dan di waktu yang akan datang, diakibatkan oleh imperialisme Amerika. Bung Karno seorang ahli berpidato dengan tenang mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.
Pada permulaan bulan Desember mahasiswa mengadakan demonstrasi memprotes kehadiran dan kegiatan Kantor Penerangan A.S. (USIA) di Indonesia, dan menghancurkan perpustakaan USIA di Jakarta dan di Surabaya. Pada tanggal 10 Desember pegawai-pegawai pos dan telekomunikasi di Jakarta dan di kota-kota lain menyita penerbitan-penerbitan USIA. Di beberapa propinsi, cabang kantor USIA setempat, ditutup. Suratkabar Indonesia Harian Rakyat tanggal 11 Desember 1964, menulis: “Putusan itu sungguh-sungguh menggembirakan dan patriotik. Ini merupakan suatu kemenangan yang gilang-gemilang bagi rakyat Indonesia yang progresif’. Harian Rakvat itu, menuntut agar semua kegiatan-kegiatan USIA di seluruh Indonesia dilarang dan semua anggota Peace Corps A.S. diusir.
Nyonya Utami Suryadarma, wakil ketua umum Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika, sekali lagi mendesak, agar AMPAI dibubarkan, karena merupakan “tempat menyemaikan infiltrasi di Indonesia”, seperti diberitakan oleh Antara pada tanggal 11 Desember 1964.
Pada tanggal 28 Pebruari 1965 beberapa mahasiswa menyerang tempat kediaman Dutabesar Amerika Jones’, Seminggu kemudian gerakan wanita Indonesia GERWANI mengirimkan sepucuk telegram berisi tuntutan kepada Presiden Sukarno dan menteri luar negeri Dr Subandrio, seperti dikatakan oleh Antara pada tanggal 6 Maret 1965: “agar Bill Palrner, direktur AMPAI dinyatakan sebagai persona non grata (orang yang tidak disenangi) dan diusir dari Indonesia.
Tuntutan itu diajukan berhubung dengan kegiatan-kegiatan subversif nya selaku anggota Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat, yang bekerja untuk kepentingan kaum imperialis Amerika dan yang membantu proyek kaum kontra-revolusioner dan kaum neo-kolonialis di Malaysia.” Dua hari kemudian, R.R.I. Jakarta bagian siaran dalam negeri, menyiarkan pidato Presiden Sukarno yang ditujukan kepada kaum wanita di seluruh Indonesia pada peringatan Hari Ibu Internasioal, seperti berikut:
Kata-kata Presiden Sukarno itu telah merangsang gejolak demonstrasi-demonstrasi dan perasaan anti-Amerika yang kian lama kian meningkat. Pada tanggal 16 Maret, kira-kira seribu orang dalam suasana marah menuju ke kantor AMPAI yang mereka kutuk, sambil meneriakkan slogan seperti: “Tutup kantor AMPAI! Usir Palmer, Agen CIA! Go home Yankees! Go home Ambasador Jones!” Selama demonstrasi diadakan, Radio Peking menyiarkan dalam bahasa Inggris bahwa para demonstran menyetujui sebuah pernyataan yang membenarkan, bahwa: AMPAI itu adalah alat subversi dan agresi imperialis di bidang kebudaaan untuk melemahkan revolusi Indonesia.
Perkataan itu mengemukakan bahwa, sungguhpun gabungan itu sudah dilarang oleh Pemerintah Indonesia dalam bulan Agustus tahun lalu, gabungan itu dan para karyawanna nasih terus mencoba untuk mengedarkan film-film mereka untuk memecah-belah kekuatan-kekuatan revolusioner di Indonesia.
Pernyataan itu lebih lanjut mengatakan, bahwa pemimpin AMPAI, Bill Palmer, adalah agen dinas rahasia Ameria Serikat dan oleh sebab itu harus di usir dari Indonesia atau ditangkap dan diadili. Jenderal Agayant. Pada tanggal 1 April para demonstran menyerang villa Palmer, sungguhpun ia pada waktu itu tidak herada di rumah. Pada tanggal 2 April 1965 Antara menambahkan, bahwa lima buah rumah milik Palmer di Gunung Mas di pakai terutama untuk “pesta-pesta akhir pekan bagi tamu-tamunya dari Jakarta dan kota-kota lain. Diberitakan juga, bahwa Bill Palmer di sana mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia dengan orang-orang tertentu.
Kemudian, setelah film-film Amerika diboikot dan dilarang, Bill Palmer sering dengan sengaja memutar film-iilm Amerika yang dilarang itu di Gunung Mas untuk dirinya sendiri dan tamu-tamunya.” Semua berita, pernyataan dan demonstrasi ini dilaporkan ke Praha dan Moskow, dan di sana dinilai sebagai suatu permulaan yang baik untuk Operasi Palmer.
Sangatlah sulit untuk memisahkan efek langsung dari operasi ini dari pada tindakan spontan para pemuka politik, wartawan dan masyarakat Indonesia, tetapi-kami tidak menghiraukan perincian-perincian seperti itu dengan demikian kami dapat menuntut penghargaan yang lebih besar dari pada semestinya. Pemerintah Indonesia tidak pernah dapat menerka betapa pentingnya tamu yang disambutnya di Jakarta dalam bulan April 1965.
Orang Armenia yang tinggi langsing, dengan rambut dan kumis yang sudah mulai beruban dan sikap yang aristokratis itu, tidak banyak menarik perhatian orang. Di kedutaan besar Soviet pun hanya beberapa oran dalam saja yang tahu, bahwa orang ini, yang berpangkat jenderal, adalah anggota cabang atas dinas intelijen Soviet. Jenderal Agayants, kepala departemen berita-berita palsu, datang ke Indonesia untuk mengawasi sendiri operasi yang sedang berlangsung itu dan untuk mencari perangsang-perangsang baru. Ia merasa puas dengan hasil-hasil yang dicapai oleh Operasi Palmer hingga saat itu.
Hubungan Indonesia-Amerika telah mencari taraf yang sangat gawat. Bukan Palmer saja yang menghadapi kesulitan. Chen Yi di Jakarta. Para sukarelawan Peace Corps Amerika Serikat di Indonesia dituduh menjadi mata-mata CIA dan agen-agen rahasia imperialisme Amerika menurut laporan New York Times tanggal 11 April 1965. Pada pertengahan bulan April mereka diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghentikan kegiatannya. Perpustakaan-perpustakaan USIA telah ditutup Indonesia mengambil alih pimpinan perkebunan-perkebunan karet milik Amerika dan National Carbon Company dan team-team pengawas ditempatkan di berbagai perusahaan Amerika, termasuk tiga buah maskapai minyak.
Pengusaha-pengusaha Amerika merasa kian lama kian sulit untuk melakukan usaha mereka di Indonesia, karena orang-orang Indonesia mulai takut untuk membeli barang-barang dari perseroan-perseroan Amerika. Pada akhir bulan Maret, Presiden Johnson mengirim seorang wakil khusus, Ellsworth Bunker, ke Indonesia untuk mengusahakan perbaikan hubungan Indonesia — Amerika pada Presiden Sukarno. Missi Bunker itu gagal. Ternyata, Presiden Sukarno memperlihatkan sikap permusuhan yang lebih keras terhadap A.S., sesudah Bunker berangkat. Orang-orang Amerika yang berjumlah kurang dari tiga ribu orang dan kedudukan Pemerintah A.S. dalam bidang kebudayaan politik dan ekonomi Amerika Serikat di Indonesia menghadapi masa depan yang suram. Akan tetapi optimisme jenderal Agayant terganggu oleh pengaruh Cina Komunis di Indonesia.
Semenjak tahun 1963 Partai Komunis Indonesia kian lama kian menjadi “nenek kebayan” bagi Peking. Sebagai imbangan R.R.T. berjanji untuk membantu Indonesia dalam konfrontasi bersenjatanya dengan Malaysia dan dalam perkembangan senjata-senjata nuklir. Tidak lama setelah Presiden Sukarno mengadakan pertemuan dengan Chou En-lai pada tanggal 5 Nopember 1964, Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan Korea Utara dan Vietnam Utara, serta mengakui Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan.
Pada akhir bulan Nopember Presiden Sukarno berunding dengan Menteri Luar Negeri RRT Chen Yi di Jakarta. Hasilnya ialah pembubaran dua ormas politik yang oleh Peking dianggap bertentangan dengan Komunisme. Yang pertama ialah “Badan Pendukung Sukarnoisme” dan yang kedua ialah Partai Murba. Partai Komunis Kebangsaan yang anti-Peking. Dalam bulan Pebruari 1965 duapuluh satu surat kabar non-Komunis dilarang terbit. Dan perkembangan pro Peking ini berlangsung terus.
Dengan bantuan Peking orang-orang Komunis Indonesia berusaha untuk merebut kekuasaan tertinggi dan mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Bahkan impian mereka itu melampaui batas-batas negara Indonesia Mereka mengharapkan agar Indonesia menjadi contoh yang revolusioner bagi semua bangsa-bangsa kulit berwarna di Asia dan Afrika. …
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com/2011/07/28/the-deception-game/
Agen-agen rahasia Cekoslowakia sejak akhir 50-an berusaha untuk melemahkan posisi Amerika. Kegiatan-kegiatan intelijen Cekoslowakia mengakibatkan destabilisasi keseluruhan dalam negara, yang akhirnya digunakan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) pada September 1965 untuk merebut kekuasaan. Detikcom (Sumber post, red) menyajikan rekonstruksi kejadian berdasarkan dokumen Arsip Nasional Ceko, yang pertama kali diterbitkan dan kesaksian pribadi para pelakunya. Tulisan di Detikcom tersebut bisa dibaca dipostingan MSS sbelumnya disini
Syracuse University Press di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku berjudul The Deception Game yang isinya adalah “pengakuan ” seorang bekas perwira intelijen Cekoslowakia bernama Ladislav Bittman. Bittman, menurut pengakuannya, adalah bekas Kepala Departemen “D” Dinas Intelijen Cekoslowakia – yaitu suatu departemen intelijen yang khusus bertugas menyebarkan kebohongan-kebohongan antaranya dengan cara membuat dokumen-dokumen palsu dan berada di bawah Departemen Dalam Negeri.
Salah satu bab dalam buku tesebut menceritakan bahwa yang membuat “dokumen Gilchrist” itu adalah Departemen D Dinas Intelijen Cekoslowakia dengan hekerjasama dengan Dinas Intelijen Uni Soviet. Tujuannya adalah untuk kian mematangkan perasaan anti Amerika-Serikat di Indonesia waktu itu. Buku The Deception Game ini seluruhnya telah disadurkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Permainan Curang oleh Oejeng Soewargana (penerbit PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973) – seorang ahli taktik-strategi komunis yang juga menjadi dosen pada berbagai Lembaga Perguruan dan Universitas antaranya di keempat Sesko, Lemhanas, Pusdiklat Kejaksaan Agung.
Dalam majalah Tempo yang terbit 29 September 1973, dimuat satu bab dari buku “Permainan Curang” yang berjudul Bumerang Indonesia. Berikut ini tulisan yang ditemukan di arsip majalah Tempo, semoga bermanfaat.
********
Pada malam hari tanggal 30 September 1965 orang-orang Komunis Indonesia melancarkan serangan terhadap lawan-lawan politiknya, yang secara diam-diam disetujui oleh Presiden Sukarno. Perebutan kekuasaan, yang pada tahap permulaan telah meminta korban enam orang jenderal yang bersikap bermusuhan terhadap kaum revolusioner Komunis itu, tidak berhasil. Dengan beberapa pengecualian, angkatan bersenjata menentang dan menghancurkan, tidak hanya para Putschist (pemberontak) saja, tetapi juga para simpatisan Komunis.
Pemerintahan baru yang anti-Komunis, menuntut kepala para pemberontak dan tuntutan mereka itu berhasil. Kira-kira setengah juta orang Komunis yang dicurigai beserta pengikut-pengikutnya mati terbunuh, termasuk Ketua Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Partai Komunis Indonesia menurut perbandingan yang terbesar di suatu negala non-Komunis, secara fisik sudah dapat dihancurkan dari sisa-sisanya yang bergerak di bawah tanah. Mimpi kekuasaan yang memabukkan mereka, telah lenyap hanya tinggal bagaimana untuk menyelamatkan diri.
Hingga sekarang ini belumlah jelas benar apa alasan orang-orang PKI itu melakukan perbuatan bunuh diri. Partai Komunis Indonesia dan anggota-anggota gerakan Komunis internasional masih terus mendiskusikan sebab-sebab kehancuran katastrofal itu. Orang-orang Komunis kelompok Moskow menuduh Peking yang salah. Tidak disangsikan lagi, Pekinglah yang menghasut PKI untuk melakukan serangan yang gagal itu, karena pengaruh Peking di waktu itu adalah jauh lebih besar daripada pengaruh Moskow.
Tidah lama setelah terjadi keretakan antara Moskow dan Peking, Partai Komunis Indonesia berusaha untuk menemukan jalan tengah antara kedua pusat Komunisme internasional itu, tetapi kemudian segera condong ke Peking. Dalam caci-makianya terhadap Peking, Moskow dan Praha dengan bijaksana sekali tidak menyinggung-nyinggung kegagalan PKI ini.
Operasi Palmer, yang dicetuskan dan didorong oleh dinas intelijen Cekoslowakia dalam tahun 1964, pada permulaannya merupakan salah satu dari sejumlah provokasi anti Amerika. Setelah tahap pertama berhasil, dinas intelijen Soviet menyertai usaha itu bersama-sama kami menyebarkan benih kebencian terhadap Amerika di bumi lndonesia yang subur itu, memupuknya hingga taraf yang histeris, sehingga mengancam hubungan diplomatik Indonesia-Amerika dengan kehancuran. Kami sendiri terperanjat melihat provokasi itu berkembang secara luar biasa dan mengerikan. Partai Komunis Indonesia, yang dihasut terus-menerus oleh Peking, mencoba memetik buahnya pada tanggal 30 September 1965.
Syracuse University Press di Amerika Serikat menerbitkan sebuah buku berjudul The Deception Game yang isinya adalah “pengakuan ” seorang bekas perwira intelijen Cekoslowakia bernama Ladislav Bittman. Bittman, menurut pengakuannya, adalah bekas Kepala Departemen “D” Dinas Intelijen Cekoslowakia – yaitu suatu departemen intelijen yang khusus bertugas menyebarkan kebohongan-kebohongan antaranya dengan cara membuat dokumen-dokumen palsu dan berada di bawah Departemen Dalam Negeri.
Salah satu bab dalam buku tesebut menceritakan bahwa yang membuat “dokumen Gilchrist” itu adalah Departemen D Dinas Intelijen Cekoslowakia dengan hekerjasama dengan Dinas Intelijen Uni Soviet. Tujuannya adalah untuk kian mematangkan perasaan anti Amerika-Serikat di Indonesia waktu itu. Buku The Deception Game ini seluruhnya telah disadurkan ke dalam Bahasa Indonesia dengan judul Permainan Curang oleh Oejeng Soewargana (penerbit PT. Tjandramerta, Jakarta, 1973) – seorang ahli taktik-strategi komunis yang juga menjadi dosen pada berbagai Lembaga Perguruan dan Universitas antaranya di keempat Sesko, Lemhanas, Pusdiklat Kejaksaan Agung.
Dalam majalah Tempo yang terbit 29 September 1973, dimuat satu bab dari buku “Permainan Curang” yang berjudul Bumerang Indonesia. Berikut ini tulisan yang ditemukan di arsip majalah Tempo, semoga bermanfaat.
********
Pada malam hari tanggal 30 September 1965 orang-orang Komunis Indonesia melancarkan serangan terhadap lawan-lawan politiknya, yang secara diam-diam disetujui oleh Presiden Sukarno. Perebutan kekuasaan, yang pada tahap permulaan telah meminta korban enam orang jenderal yang bersikap bermusuhan terhadap kaum revolusioner Komunis itu, tidak berhasil. Dengan beberapa pengecualian, angkatan bersenjata menentang dan menghancurkan, tidak hanya para Putschist (pemberontak) saja, tetapi juga para simpatisan Komunis.
Pemerintahan baru yang anti-Komunis, menuntut kepala para pemberontak dan tuntutan mereka itu berhasil. Kira-kira setengah juta orang Komunis yang dicurigai beserta pengikut-pengikutnya mati terbunuh, termasuk Ketua Partai Komunis Indonesia D.N. Aidit. Partai Komunis Indonesia menurut perbandingan yang terbesar di suatu negala non-Komunis, secara fisik sudah dapat dihancurkan dari sisa-sisanya yang bergerak di bawah tanah. Mimpi kekuasaan yang memabukkan mereka, telah lenyap hanya tinggal bagaimana untuk menyelamatkan diri.
Hingga sekarang ini belumlah jelas benar apa alasan orang-orang PKI itu melakukan perbuatan bunuh diri. Partai Komunis Indonesia dan anggota-anggota gerakan Komunis internasional masih terus mendiskusikan sebab-sebab kehancuran katastrofal itu. Orang-orang Komunis kelompok Moskow menuduh Peking yang salah. Tidak disangsikan lagi, Pekinglah yang menghasut PKI untuk melakukan serangan yang gagal itu, karena pengaruh Peking di waktu itu adalah jauh lebih besar daripada pengaruh Moskow.
Tidah lama setelah terjadi keretakan antara Moskow dan Peking, Partai Komunis Indonesia berusaha untuk menemukan jalan tengah antara kedua pusat Komunisme internasional itu, tetapi kemudian segera condong ke Peking. Dalam caci-makianya terhadap Peking, Moskow dan Praha dengan bijaksana sekali tidak menyinggung-nyinggung kegagalan PKI ini.
Operasi Palmer, yang dicetuskan dan didorong oleh dinas intelijen Cekoslowakia dalam tahun 1964, pada permulaannya merupakan salah satu dari sejumlah provokasi anti Amerika. Setelah tahap pertama berhasil, dinas intelijen Soviet menyertai usaha itu bersama-sama kami menyebarkan benih kebencian terhadap Amerika di bumi lndonesia yang subur itu, memupuknya hingga taraf yang histeris, sehingga mengancam hubungan diplomatik Indonesia-Amerika dengan kehancuran. Kami sendiri terperanjat melihat provokasi itu berkembang secara luar biasa dan mengerikan. Partai Komunis Indonesia, yang dihasut terus-menerus oleh Peking, mencoba memetik buahnya pada tanggal 30 September 1965.
“Sebelum saya lupa, Yang Mulia Dutabesar, saya membawa sesuatu yang mungkin penting artinya untuk anda,” kata Mayor Louda, sambil mengeluarkan beberapa helai kertas dari dalam tasnya.
“Secara kebetulan sekali kami menemukan dokumen ini dan kami berpendapat, bahwa perdana-menteri Dr Subandrio atau Yang Mulia Presiden Sukarno harus diberitahu. Anda tahu, bahwa perasaan kami terhadap negara anda lebih dari pada simpati saja. Kita mempunyai tujuan yang sama, juga musuh yang sama, dan kami berpendapat, bahwa telah tiba waktunya untuk menghancurkan semua sumber informasi dan alat propaganda musuh bersama itu di Indonesia. Maaf, anda jangan salah mengerti kami sama sekali tidak bermaksud untuk mencampuri urusan dalam negeri anda. Apa yang akan anda lakukan dengan informasi itu adalah urusan anda semata-mata, tetapi anda harus tahu, apa yang sedang dilakukan oleh musuh kita.” “Ya, saya mengerti,” kata sang Dutabesar.
“Adakah sesuatu yang dapat saya tolong, Yang Mulia Dutabesar?” tanya Louda.
“Ya, kebetulan saja ada”, kata sang Dutabesar.
“Saya memerlukan apartemen yang lebih besar untuk pesta-pesta pribadi saya apartemen saya yang sekarang ini terlalu kecil. Dan penghuni-penghuni yang lain terlalu banyak menaruh perhatian terhadap saya.” “O ya, saya maklum,” kata Louda,
“tetapi anda harus sedikit bersabar. Saya yakin, anda mengetahui, betapa susahnya untuk mendapatkan tempat yang cocok untuk anda. Kami akan berusaha, tetapi anda harus bersabar”. “Ada satu lagi permintaan saya,” berkata sang Dutabesar, “dapatkah anda memperkenalkan saya dengan wanita lain? Yang terakhir terlalu banyak permintaannya meminta uang maksud saya.”
“O, tentu saja Yang Mulia Dutabesar. Itu soal kecil. Bagaimana, kalau tiga minggu lagi?” tanya Louda.
“Bagus, saya setuju,” jawab sang. Dutabesar.
Mereka saling memberi salam dan Louda meninggalkan sang Dutabesar. “Bandot tua itu tidak mengenal batas”, demikian reaksi markas besar kami di Praha, ketika Mayor Louda melaporkan pembicaraannya yang terakhir dengan tuan Polan, Dutabesar Indonesia di negeri Anu.*) Departemen D.
Selama beberapa waktu departemen operasionil Asia-Afrika dalam dinas intelijen Cekoslowakia tidak tahu, bagaimana melanjutkan kasus tuan Polan ini. Sebagai anak mas perdana menteri R.I. Dr Subandrio, tugasnya di luar negeri sebagai seorang diplomat dan perwira intelijen, sangat menarik perhatian dinas rahasia Cekoslowakia Praha berhasil untuk mengadakan kontak langsung dengan dia.
Kami tidak berkeberatan, jika ia menyenangi wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Kami usahakan sebuah apartemen kecil mungil, lengkap dengan perabotnya, di mana ia dapat melampiaskan hawa nafsunya. Wanita muda yang cantik-cantik diinstruksikan untuk membangun perasaan aku-nya atau egonya. Tidak jelas bagi kami, apakah tuan Polan itu menganggap perhatian kami terhadapnya sebagai tanda persahabatan politis dari pemerintah Cekoslowakia terhadap Indonesia atau sebagai bantuan kami dalam intrik intelijen.
Walau pun ia telah banyak berhutang budi pada dinas intelijen Cekoslowakia, ia tidak merasa telah diiadikan agen rahasia. Perasaan kebangsaannya kuat sekali dan politis ia sangat tertarik pada Komunisme ala Peking sungguhpun begitu ia tahu bahwa ia telah dijadikan penyalur berbagai berita anti-Amerika kepada pemerintah Indonesia, waktu Cekoslowakia dan Rusia menetapkan untuk menggunakan ia.
Laporan-laporan dan dokumen-dokomen yang diterimanya dari dinas intelijen Cekoslowakia, tidak pernah disebut informasi palsu. Sebaliknya, nilai dan arti daripada dokumen-dokumen/laporan-laporan itu dijaminnya. Tidak mustahil, Subandrio secara tidak resmi mengetahui hubungan duta besarnya dengan departemen intelijen Cekoslowakia: mungkin ia membiarkan hubungan itu untuk mendapatkan “bahan penting”: dengan cara bagaimanapun juga. Departemen D tidak berkewajiban untuk membimbing agen-agen rahasia di luar negeri, hal itu dilakukan oleh departemen-departemen operasionil yang bersangkutan. Kenyataan, bahwa Mayor Louda, perwira senior pada Departemen D, sekaligus menjadi perwira kasus untuk tuan Polan, termasuk suatu pengecualian Penetapan itu tepat sekali karena gagasan untuk menggunakan tuan Polan bagi penyaluran informasi palsu dalam permainan ini, yang akan menyulitkan penghidupan orang-orang Amerika di Indonesia, adalah gagasan Louda sendiri.
Operasi Louda ini timbul dalam tahun 1964. karena munculnya suatu gerakan baru di Indonesia yang menuntut, agar film-film Amerika dilarang masuk. Organisasi yang bernama “Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika” (Action Committee for the Boycott of United States Films), berkeyakinan, bahwa film-film Amerika merusak moral dan semangat revolusi bangsa Indonesia. Tidaklah efisien untuk Departemen D untuk menciptakan bukti baru mengenai “kemerosotan moral kebudayaan Amerika” serta pengaruh film-film Amerika yang merusak, dan menyajikan propaganda tambahan ini kepada masyarakat Indonesia. Pendekatan yang lebih efektif ialah menciptakan bukti korban-korban hidup yang melambangkan “imperialisme Amerika dengan otaknya CIA.”
William Palmer, direktur “Association of American Film Importers” (Gabungan Importir Film Amerika) di Indonesia telah dipilih sebagai korban untuk tujuan di atas. Sesungguhnya kami tidak mempunyai bukti nyata dan meyakinkan, bahwa Palmer itu adalah agen CIA, kami hanya dapat menyangka saja. Akan tetapi pergaulannya yang luas dengan kalangan politik tertinggi di Indonesia, demikian pula dengan masyarakat ramai, serta sumber-sumber keuangannya yang tidak kering-keringnya, telah mentakdirkan dia menjadi lambang penjelmaan pengaruh Amerika di Indonesia, simbol dari segala kejahatan.
Berdasarkan laporan yang tidak pasti dan terpisah-pisah, kami telah menyusun satu berkas keterangan bahwa Palmer adalah agen CIA yang paling utama di Indonesia. Menurut tujuan semula, Operasi Palmer itu hanya merupakan pencak silat di belakang layar yang sudah lazim di antara dinas-dinas intelijen Timur dan Barat, untuk saling mengganggu dan mempersempit ruang gerak. Akan tetapi operasi ini berkembang melampaui tujuannya semula dan menjadi suatu faktor yang mudah meledak dalam hubungan Amerika-Indonesia dan dalam politik dalam negeri Indonesia.
Saluran anonim.
Duta besar Polan bukanlah satu-satunya saluran dalam Operasi Palmer itu. Beberapa orang wartawan Indonesia, yang dipergunakan oleh agen-agen rahasia Cekoslowakia, merupakan saluran yang lebih penting lagi dalam memperhebat kampanye anti Amerika di dalam negeri. Beberapa kali dalam kelangsungan operasi itu mereka telah menerima konsep artikel-artikel yang mereka olah dengan gaya jurnalistik mereka sendiri dan dengan istilah-istilah politik Indonesia, yang pada bagian terakhir dari kekuasaan Sukarno lebih edan lagi daripada istilah-istilah politik di Moskow.
Kami juga berhasil baik dalam menggunakan saluran-saluran anonim (pengiriman yang merahasiakan nama serta alamat pengirimnya) untuk mengirimkan dokumen palsu dan informasi yang diputar-balikkan kepada pemuka politik, organisasi massa dan redaktur surat kabar Indonesia. Sebuah sumber di luar Indonesia telah memulai operasi itu. Bahan yang menuduh Palmer melakukan kegiatan-kegiatan subversif di Indonesia, muncul dalam harian Ceylon Tribune pada tanggal 12 September 1964.
Artikel itu memperkenalkan nama William Palmer. Menurut Ceylon Tribune itu, Palmer akan melarikan diri secara diam-diam ke Malaysia untuk meneruskan kegiatan-kegiatan subversifnya terhadap Indonesia dari sana. Artikel itu, yang pada tanggal 30 September 1964 dipetik oleh salah satu suratkabar Singapura yang diterbitkan oleh Barisan Sosialis. menyatakan: Jaringan spionase ini menggunakan sebagai selubungnya sebuah organisasi, bernama Gabungan Importir Film Amerika (Association of American Film Importers).
Dikabarkan, bahwa organisasi ini mewakili sembilan buah? maskapai film Amerika. Penghasilannya setiap bulan tidak kurang dari dua juta. Uang itu dipakai untuk membiayai partai-partai politik dan organisasi-organisasi yang reaksioner serta untuk menyogok pemimpin-pemimpin politik, pejabat-pejabat eksekutif yang terkemuka dan untuk kegiatan-kegiatan rahasia lainnya ….William Palmer adalah manager gabungan itu. Ia adalah seorang agen rahasia Amerika Serikat yang paling utama dan aktif di Indonesia ia mempunyai hubungan dengan pemberontak-pemberontak Indonesia, dengan Partai Masyumi (sebuah organisasi Islam), semuanya itu pengaruh-pengaruh anti pemerintah, anti Sukarno dan reaksioner, … William Palmer juga telah membentuk sel-selnya dalam partai-partai politik departemen-departemen pemerintah dan angkatan bersenjata yang membantunya untuk mengumpulkan informasi dan rahasia-rahasia negara….
Sungguhpun kegiatan-kegiatannya itu sudah sejak lama dan telah banyak mendapat kepercayaan masyarakat, akhirnya kedok William Palmer terbuka juga basisnya untuk meneruskan kegiatan-kegiatan subversinya tidak dapat dipertahankan. Ia harus meninggalkan Indonesia. Yang merupakan teka-teki bagi pejabat- pejabat Inggris di Singapura ialah persetujuan London untuk beroperasi di Malaysia. Jelaslah bahwa hal ini ada sangkut pautnya dengan seluruh proses pengawasan dan pengaruh Amerika Serikat atas Malaysia.
Artikel nengenai Palmer banyak menarik perhatian orang, baik di Indonesia maupun di Malaysia, dan memberikan dorongan baru kepada “Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika. “Organisasi itu mengadakan konperensi selama lima hari pada akhir bulan Oktober 1964, di mana diputuskan untuk meneruskan pemboikotan film-film Amerika. Salah satu resolusinya mendesak dengan tegas supaya semua kegiatan gabungan film-film Amerika di Indonesia itu dihentikan dengan segera.
Pers Indonesia yang secara luas sekali menguraikan kejadian itu, menyerang Amerika Serikat bukan saja sehubungan dengan pemboikotan film-film Amerika, akan tetapi juga bertalian dengan tibanya sebuah misi militer Amerika di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tanggal 11 Nopember 1964. Pada tanggal 12 Nopember 1964 suratkabar Indonesia Warta Bhakti menegaskan, bahwa kedatangan misi Amerika itu di Malaysia merupakan suatu “petunjuk yang nyata, bahwa Amerika Serikat terang-terangan memihak kepada negara boneka yang ditelorkan oleh imperialisme Inggeris”. Warta Bhakti, sambil menunjuk pada usaha-usaha Dutabesar Amerika Serikat Jones untuk memperbaiki hubungan-hubungan Indonesia-Amerika, memperingatkan, bahwa daya-upaya Jones itu akan sia-sia belaka jika para perancang di Amerika Serikat tidak memperhatikan peringatan-peringatan Presiden Sukarno yang diucapkannya dalam pidatonya pada tanggal 17 Agustus dan dalam aksi-aksi pemboikotan film-film imperialis Amerika.”
Indonesia, yang di bawah pimpinan Presiden Sukarno besar sekali hutangnya kepada Rusia dan Negara-negara Barat, merana karena kekacauan ekonomi, inflasi, ketegangan-ketegangan di dalam negeri, dan tercengkeram rasa benci terhadap Malaysia, benar-benar merupakan korban yang empuk bagi kegiatan-kegiatan intelijen Komunis. Dengan mudah saja orang mengatakan, bahwa semua kesulitan-kesulitan zaman dahulu, sekarang dan di waktu yang akan datang, diakibatkan oleh imperialisme Amerika. Bung Karno seorang ahli berpidato dengan tenang mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju.
Pada permulaan bulan Desember mahasiswa mengadakan demonstrasi memprotes kehadiran dan kegiatan Kantor Penerangan A.S. (USIA) di Indonesia, dan menghancurkan perpustakaan USIA di Jakarta dan di Surabaya. Pada tanggal 10 Desember pegawai-pegawai pos dan telekomunikasi di Jakarta dan di kota-kota lain menyita penerbitan-penerbitan USIA. Di beberapa propinsi, cabang kantor USIA setempat, ditutup. Suratkabar Indonesia Harian Rakyat tanggal 11 Desember 1964, menulis: “Putusan itu sungguh-sungguh menggembirakan dan patriotik. Ini merupakan suatu kemenangan yang gilang-gemilang bagi rakyat Indonesia yang progresif’. Harian Rakvat itu, menuntut agar semua kegiatan-kegiatan USIA di seluruh Indonesia dilarang dan semua anggota Peace Corps A.S. diusir.
Nyonya Utami Suryadarma, wakil ketua umum Panitia Aksi Pemboikotan Film-film Amerika, sekali lagi mendesak, agar AMPAI dibubarkan, karena merupakan “tempat menyemaikan infiltrasi di Indonesia”, seperti diberitakan oleh Antara pada tanggal 11 Desember 1964.
Pada tanggal 28 Pebruari 1965 beberapa mahasiswa menyerang tempat kediaman Dutabesar Amerika Jones’, Seminggu kemudian gerakan wanita Indonesia GERWANI mengirimkan sepucuk telegram berisi tuntutan kepada Presiden Sukarno dan menteri luar negeri Dr Subandrio, seperti dikatakan oleh Antara pada tanggal 6 Maret 1965: “agar Bill Palrner, direktur AMPAI dinyatakan sebagai persona non grata (orang yang tidak disenangi) dan diusir dari Indonesia.
Tuntutan itu diajukan berhubung dengan kegiatan-kegiatan subversif nya selaku anggota Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat, yang bekerja untuk kepentingan kaum imperialis Amerika dan yang membantu proyek kaum kontra-revolusioner dan kaum neo-kolonialis di Malaysia.” Dua hari kemudian, R.R.I. Jakarta bagian siaran dalam negeri, menyiarkan pidato Presiden Sukarno yang ditujukan kepada kaum wanita di seluruh Indonesia pada peringatan Hari Ibu Internasioal, seperti berikut:
Jawabanku atas bantuan aktif yang diberikan Amerika Serikat kepada Malaysia, ialah: kita tidak takut. Kita tidak dapat ditakut-takuti – Walaupun negara-negara imperialis yang lain, juga mermberikan, bantuan aktif kepada Malaysia, kita sebagai suatu kekuatan internasional di kalangan negara-negara NEFOS (the new emerging forces), dengan rakyatnya sebanyak dua setengah milyar jiwa, kita akan bersama-sama menghadapi semua negara-negara imperialis ini…..
Beberapa hari yang lalu kepadaku diminta untuk menghentikan demonstrasi-demonstrasi anti-Amerika di seluruh Indonesia. Aku katakan dengan tegas bahwa demonstrasi-demonstrasi ini adalah manifestasi dari pada perasaan umum, bukan di Indonesia saja, tetapi juga di kalangan negara-negara NEFOS suatu perasaan benci terhadap politik Amerika Serikat, seperti dipraktekkan di Vietnam Selatan, di Vietnam-Utara, di Kongo, dan dimana saja didunia ini.
Kata-kata Presiden Sukarno itu telah merangsang gejolak demonstrasi-demonstrasi dan perasaan anti-Amerika yang kian lama kian meningkat. Pada tanggal 16 Maret, kira-kira seribu orang dalam suasana marah menuju ke kantor AMPAI yang mereka kutuk, sambil meneriakkan slogan seperti: “Tutup kantor AMPAI! Usir Palmer, Agen CIA! Go home Yankees! Go home Ambasador Jones!” Selama demonstrasi diadakan, Radio Peking menyiarkan dalam bahasa Inggris bahwa para demonstran menyetujui sebuah pernyataan yang membenarkan, bahwa: AMPAI itu adalah alat subversi dan agresi imperialis di bidang kebudaaan untuk melemahkan revolusi Indonesia.
Perkataan itu mengemukakan bahwa, sungguhpun gabungan itu sudah dilarang oleh Pemerintah Indonesia dalam bulan Agustus tahun lalu, gabungan itu dan para karyawanna nasih terus mencoba untuk mengedarkan film-film mereka untuk memecah-belah kekuatan-kekuatan revolusioner di Indonesia.
Pernyataan itu lebih lanjut mengatakan, bahwa pemimpin AMPAI, Bill Palmer, adalah agen dinas rahasia Ameria Serikat dan oleh sebab itu harus di usir dari Indonesia atau ditangkap dan diadili. Jenderal Agayant. Pada tanggal 1 April para demonstran menyerang villa Palmer, sungguhpun ia pada waktu itu tidak herada di rumah. Pada tanggal 2 April 1965 Antara menambahkan, bahwa lima buah rumah milik Palmer di Gunung Mas di pakai terutama untuk “pesta-pesta akhir pekan bagi tamu-tamunya dari Jakarta dan kota-kota lain. Diberitakan juga, bahwa Bill Palmer di sana mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia dengan orang-orang tertentu.
Kemudian, setelah film-film Amerika diboikot dan dilarang, Bill Palmer sering dengan sengaja memutar film-iilm Amerika yang dilarang itu di Gunung Mas untuk dirinya sendiri dan tamu-tamunya.” Semua berita, pernyataan dan demonstrasi ini dilaporkan ke Praha dan Moskow, dan di sana dinilai sebagai suatu permulaan yang baik untuk Operasi Palmer.
Sangatlah sulit untuk memisahkan efek langsung dari operasi ini dari pada tindakan spontan para pemuka politik, wartawan dan masyarakat Indonesia, tetapi-kami tidak menghiraukan perincian-perincian seperti itu dengan demikian kami dapat menuntut penghargaan yang lebih besar dari pada semestinya. Pemerintah Indonesia tidak pernah dapat menerka betapa pentingnya tamu yang disambutnya di Jakarta dalam bulan April 1965.
Orang Armenia yang tinggi langsing, dengan rambut dan kumis yang sudah mulai beruban dan sikap yang aristokratis itu, tidak banyak menarik perhatian orang. Di kedutaan besar Soviet pun hanya beberapa oran dalam saja yang tahu, bahwa orang ini, yang berpangkat jenderal, adalah anggota cabang atas dinas intelijen Soviet. Jenderal Agayants, kepala departemen berita-berita palsu, datang ke Indonesia untuk mengawasi sendiri operasi yang sedang berlangsung itu dan untuk mencari perangsang-perangsang baru. Ia merasa puas dengan hasil-hasil yang dicapai oleh Operasi Palmer hingga saat itu.
Hubungan Indonesia-Amerika telah mencari taraf yang sangat gawat. Bukan Palmer saja yang menghadapi kesulitan. Chen Yi di Jakarta. Para sukarelawan Peace Corps Amerika Serikat di Indonesia dituduh menjadi mata-mata CIA dan agen-agen rahasia imperialisme Amerika menurut laporan New York Times tanggal 11 April 1965. Pada pertengahan bulan April mereka diperintahkan oleh Pemerintah Indonesia untuk menghentikan kegiatannya. Perpustakaan-perpustakaan USIA telah ditutup Indonesia mengambil alih pimpinan perkebunan-perkebunan karet milik Amerika dan National Carbon Company dan team-team pengawas ditempatkan di berbagai perusahaan Amerika, termasuk tiga buah maskapai minyak.
Pengusaha-pengusaha Amerika merasa kian lama kian sulit untuk melakukan usaha mereka di Indonesia, karena orang-orang Indonesia mulai takut untuk membeli barang-barang dari perseroan-perseroan Amerika. Pada akhir bulan Maret, Presiden Johnson mengirim seorang wakil khusus, Ellsworth Bunker, ke Indonesia untuk mengusahakan perbaikan hubungan Indonesia — Amerika pada Presiden Sukarno. Missi Bunker itu gagal. Ternyata, Presiden Sukarno memperlihatkan sikap permusuhan yang lebih keras terhadap A.S., sesudah Bunker berangkat. Orang-orang Amerika yang berjumlah kurang dari tiga ribu orang dan kedudukan Pemerintah A.S. dalam bidang kebudayaan politik dan ekonomi Amerika Serikat di Indonesia menghadapi masa depan yang suram. Akan tetapi optimisme jenderal Agayant terganggu oleh pengaruh Cina Komunis di Indonesia.
Semenjak tahun 1963 Partai Komunis Indonesia kian lama kian menjadi “nenek kebayan” bagi Peking. Sebagai imbangan R.R.T. berjanji untuk membantu Indonesia dalam konfrontasi bersenjatanya dengan Malaysia dan dalam perkembangan senjata-senjata nuklir. Tidak lama setelah Presiden Sukarno mengadakan pertemuan dengan Chou En-lai pada tanggal 5 Nopember 1964, Indonesia mengadakan hubungan diplomatik dengan Korea Utara dan Vietnam Utara, serta mengakui Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan.
Pada akhir bulan Nopember Presiden Sukarno berunding dengan Menteri Luar Negeri RRT Chen Yi di Jakarta. Hasilnya ialah pembubaran dua ormas politik yang oleh Peking dianggap bertentangan dengan Komunisme. Yang pertama ialah “Badan Pendukung Sukarnoisme” dan yang kedua ialah Partai Murba. Partai Komunis Kebangsaan yang anti-Peking. Dalam bulan Pebruari 1965 duapuluh satu surat kabar non-Komunis dilarang terbit. Dan perkembangan pro Peking ini berlangsung terus.
Dengan bantuan Peking orang-orang Komunis Indonesia berusaha untuk merebut kekuasaan tertinggi dan mengendalikan pemerintahan di Indonesia. Bahkan impian mereka itu melampaui batas-batas negara Indonesia Mereka mengharapkan agar Indonesia menjadi contoh yang revolusioner bagi semua bangsa-bangsa kulit berwarna di Asia dan Afrika. …
Sumber : http://serbasejarah.wordpress.com/2011/07/28/the-deception-game/