Presiden Soekarno (tengah) menjamu perwakilan Pengurus Besar Provinsial Tarekat Kemasonan Indonesia pada 3 Maret 1950. (Dokumentasi Perpustakaan Nasional)
Pertemuan antara Presiden Soekarno dan Pengurus Besar Provinsial Tarekat Kemasonan di Indonesia terekam dalam potret yang dikumpulkan Yayasan Idayu.
Sejak 2005, Perpustakaan Nasional menyimpan foto itu pada album bertuliskan “Berbagai kegiatan pemerintahan Presiden Republik Indonesia Serikat Soekarno dalam menerima kunjungan tamu-tamu perwakilan asing dari beberapa negara di Jakarta pada 3 hingga 5 Januari 1950".
Foto hitam-putih tersebut tidak memuat keterangan tanggal dan tempat pertemuan. "Presiden Soekarno menerima anggota-anggota Vrij Metselaar," demikian keterangan foto itu tertulis secara singkat. Vrij Metselaar adalah sebutan bagi kelompok Freemasonry dalam bahasa Belanda.
Pada gambar diam itu, penampilan Soekarno terlihat formal dengan setelan jas, dasi serta peci. Bung Karno duduk di ujung sofa panjang, menumpangkan kaki kirinya ke kaki kanannya.
Proklamator kemerdekaan Indonesia itu tampak memfokuskan matanya ke deputi Pengurus Besar Provinsial, H.M.J Hart yang terlihat tengah memaparkan suatu perihal. Hart duduk di sofa yang terpisah dan berhadapan dengan Bung Karno.
Sementara itu, Wakil Suhu Agung Pengurus Besar Provinsial Carpentier Alting duduk di sebelah Hart. Ia tampak memperhatikan pembicaraan Bung Karno dan Hart.
Gestur serupa Alting diperlihatkan pula oleh Loa Sek Hie, anggota Pengurus Besar Provinsial yang seorang peranakan Tionghoa. Wisaksono Wirjodihardjo, anggota Pengurus Besar Provinsial yang sempat menjabat Wali Kota Bogor, duduk di antara Alting dan Loa, menundukan kepalanya.
CNN Indonesia sebenarnya menemukan satu foto lain terkait pertemuan itu pada katalog Perpusnas. Foto tersebut berjudul Anggota-anggota Vrij Metselaar menghadap Presiden.
Foto itu tecatat berada pada album yang berisi kumpulan rekaman kegiatan Bung Karno, seperti saat memperingati Maulid Muhammad SAW di Istana Negara, menyambut kedatangan Wakil Presiden Mohammad Hatta dari Den Haag, Belanda, serta bertemu dengan delegasi asing.
Sayang, tidak satu pun foto pada album tersebut menunjukkan pertemuan Bung Karno dan Pengurus Besar Provinsial. Setelah berulang kali mengulangi pencarian mereka ruang penyimpanan, petugas Perpustakaan Nasional tetap tidak dapat menemukan foto kedua.
Pertemuan Pertama
Theo Stevens, penulis buku Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764-1962, menyebut pertemuan Bung Karno dan Pengurus Besar Provinsial tersebut terjadi pada 3 Maret 1950.
Sebelumnya, secara resmi, Bung Karno tidak pernah bertemu dengan pegiat organisasi cikal bakal Loge Agung Indonesia itu.
Alting serta 3 (tiga) koleganya bermaksud memperkenalkan tarekat mereka kepada sang kepala negara. Stevens berkata, Bung Karno memberikan waktu yang tidak sebentar bagi keempatnya.
"Seusai pertemuan, mereka (Alting dan tiga rekannya) menyatakan kepuasan atas pertemuan itu," tulis Stenvens pada bukunya.
Saat CNN Indonesia jumpai di Malang awal Januari lalu, pengamat Kemasonan, Sam Ardi, mengatakan Bung Karno yang menginisiasi pertemuan di Istana Negara itu.
Menurut Sam, Bung Karno hendak mengkonfirmasi kabar-kabar negatif yang dilekatkan kelompok masyarakat tertentu pada tarekat Kemasonan di Indonesia. Sam berkata, selentingan tentang rumah setan dan pemujaan berhala menjadi bagian pada pembicaraan antara Bung Karno dan delegasi Pengurus Besar Provinsial.
Stevens menulis, sebulan setelah pertemuan dengan Bung Karno, delegasi Pengurus Besar Provinsial kembali bersafari ke pejabat negara. Menteri Agama Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim, menurut Stevens, merupakan petinggi berikutnya yang delegasi temui.
Stevens tidak menerangkan secara detil apa topik dan hasil pertemuan tersebut. Ia menulis, kepada ayah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu, delegasi menjawab beberapa pertanyaan terkait Majelis Provinsial Kemasonan di Indonesia.
"Delegasi pulang dengan kesan bahwa menteri menghargai perjuangan mereka," ujar Stevens.
Pertemuan Kedua
Sekitar tiga tahun usai tatap muka di Istana Negara, Stevens menyebut Bung Karno kembali bertemu dengan pegiat Tarekat Kemasonan.
Bedanya, yang ditemui Bung Karno pada 13 Januari 1953 itu adalah warga-warga negara Indonesia yang menggagas pendirian Loji Purwa-Dhaksina, loji pertama berbahasa Indonesia.
Sebelum pertemuan tersebut, Majelis Provinsial Kemasonan di Indonesia menghadapi persoalan-persoalan yang rumit. Jumlah anggota mereka di seluruh Indonesia terus menurun, dari 510 orang pada awal Maret 1952, menjadi 408 orang per 14 Juni 1952.
Sembilan orang mason Indonesia, antara lain Wisaksono, Soemitro Kolopaking, Liem Bwan Tjie dan Liem Mo Djan, kemudin mengajukan permohonan pendirian loji Purwa-Dhaksina ke Majelis Pusat Kemasonan di Belanda.
Mereka beralasan, orang Indonesia yang tak menguasai bahasa Belanda harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan pencerahan ala Kemasonan.
Pendirian Purwa-Dhaksina, menurut sembilan orang itu, merupakan upaya menjaga terang Kemasonan di Indonesia. Di sisi lain, mereka yakin Tarekat Kemasonan di Indonesia perlu menyebarkan terang dengan cara yang khas.
Stevens menulis, pada pertemuan kedua itu, Bung Karno bertanya apakah Tarekat Kemasonan di Indonesia hanya menerima masyarakat dari golongan elite (upper-ten) ?.
Pada bukunya, Stevens tidak menulis tentang jawaban delegasi atas pertanyaan Bung Karno. Stevens hanya merinci, "Pengurus Tarekat menangkap kesan bahwa Presiden bersimpati dengan perjuangan Kemasonan."
Kurang dari satu bulan usai pertemuan dengan Bung Karno, delegasi Loji Purwa-Dhaksina beraudiensi dengan Wakil Presiden Mohammad Hatta. "Hatta menanyakan ruang lingkup Tarekat," tulis Stenvens.
Kepada Hatta, delegasi lantas menuturkan, mereka akan mulai menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar agar penyebaran asas-asas di kalangan masyarakat Indonesia terwujud.
Safari kenegaraan yang dilakukan cikal-bakal Loge Agung Indonesia tersebut terbukti tidak mampu mencegah pembubaran yang dipaksakan pemerintah.
Bung Karno mengeluarkan Peraturan Penguasa Perang Tertinggi nomor 7 tahun 1961yang melarang aktivias Loge Agung Indonesia. Tak berhenti di situ, Putra Sang Fajar kemudian juga menerbitkan Keputusan Presiden nomor 264 tahun 1962.
Pada Keppres itu, Bung Karno melarang aktivitas Loge Agung Indonesia dan 6 (enam) lembaga lain seperti Organisasi Baha'i, Liga Demokrasi, Rotary Club, Divine Life Society, Moral Rearmament Movement, dan Organisasi Kebatinan Kuno Palang Mawar atau AMORC (Ancient Mystical Organization Of Rosi Crucians)
Bung Karno beralasan, asas dan tujuan lembaga-lembaga tersebut tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia.
Bung Karno menyatakan, keberadaan Loge Agung Indonesia dan enam organisasi lainnya dapat menghambat penyelesaian revolusi dan bertentangan dengan sosialisme yang dimaksudkan Penetapan Presiden Nomor 2 Tahun 1962.
Rohaniawan sekaligus sejarahwan Adolf Heuken menuturkan, Soekarno tidak ingin ada satu kelompok pun yang tidak bisa ia atasi.
Menurut Adolf, seorang agamawan yang datang ke Indonesia awal dekade 1950-an, hanya itulah alasan Soekarno membubarkan Loge Agung Indonesia, bukan karena unsur Belanda dan dugaan penistaan agama.
"Soekarno tidak suka Kemasonan karena dia tidak bisa mengontrol kelompok itu. Soekarno tidak peduli Kemasonan itu kelompok agama atau tidak, yang jelas ini kelompok yang tidak bisa dia kontrol. Maka dilarangnya," ucap Adolf pertengahan tahun 2015 silam kepada CNN Indonesia. [1]
Namun kemudian sejarah mencatat, 23 Mei 2000, Gus Dur, putra pertama Wahid Hasjim, mengeluarkan Keppres Nomor 69 Tahun 2000.
Melalui instrumen hukum itu, Gus Dur mencabut Keppres yang diteken Bung Karno. Kemasonan pun tidak lagi berstatus organisasi terlarang di Indonesia.
Dalam tulisannya yang berjudul "Negara Hukum ataukah Kekuasaan", Gus Dur menyatakan, Keppres dikeluarkannya didasarkan peristiwa pelarangan anak-anak penganut Bahai dalam ujian SMP di Pati, Jawa Tengah. [2]
Larangan dikeluarkan oleh Komando Distrik Militer setempat dengan berpegangan pada Keppres Bung Karno itu.
"Penulis (Gus Dur) menentang keputusan itu, menurut penulis hal itu bertentangan dengan undang-undang dasar dan dengan demikian batal demi hukum," kata Gus Dur dalam tulisannya seperti yang dimuat dalam laman gusdur.net.
Mantan juru bicara Gus Dur, Adi Masardi mengaku tak secara khusus tahu soal latar belakang penerbitan Keppres Nomor 69 tahun 2000 itu. Namun menurutnya, secara umum dasar pemikiran Gus Dur adalah, organisasi dan kebebasan berfikir tidak bisa dilarang karena berkaitan dengan hak asasi manusia.
"Berkumpul dan bersertifikat harus dijamin," kata Adi kepada CNN Indonesia.
Bahkan saat Gus Dur jadi Presiden, ide-ide marxisme diperbolehkan untuk dipelajari. Namun jika paham-paham tersebut pada akhirnya berakibat pada pelanggaran hukum, maka harus ditindak.
"Harus ditindak secara hukum perbuatannya, tapi bukan cara berpikirnya," kata Adi.
Meski aturan yang melarang keberadaanya sudah dicabut oleh Gus Dur, sampai saat ini belum terdengar lagi kiprah organisasi Freemason di Indonesia. Padahal saat berdiri, beberapa tokoh penting pernah menjadi anggotanya.
Sejarawan Adolf Heukeun mengatakan, Freemason di Indonesia pernah memiliki pengaruh besar. Banyak pegawai tinggi Belanda adalah anggota Freemasonry.
Pertemuan yang mereka gelar selalu tertutup di loji-loji yang ada. Masyarakat kerap menjuluki loji tempat mereka berkumpul sebagai rumah setan. Masyarakat menuding ada ritual memuja atau mengundang setan dalam kegiatan perkumpulan ini.
Sumber :
[1] www.cnnindonesia.com/antara-freemasonry-indonesia-soekarno-dan-bung-hatta/
[2] www.cnnindonesia.com/beda-nasib-freemasonry-pada-era-bung-karno-dan-gus-dur/
Dalam tulisannya yang berjudul "Negara Hukum ataukah Kekuasaan", Gus Dur menyatakan, Keppres dikeluarkannya didasarkan peristiwa pelarangan anak-anak penganut Bahai dalam ujian SMP di Pati, Jawa Tengah. [2]
Larangan dikeluarkan oleh Komando Distrik Militer setempat dengan berpegangan pada Keppres Bung Karno itu.
"Penulis (Gus Dur) menentang keputusan itu, menurut penulis hal itu bertentangan dengan undang-undang dasar dan dengan demikian batal demi hukum," kata Gus Dur dalam tulisannya seperti yang dimuat dalam laman gusdur.net.
Mantan juru bicara Gus Dur, Adi Masardi mengaku tak secara khusus tahu soal latar belakang penerbitan Keppres Nomor 69 tahun 2000 itu. Namun menurutnya, secara umum dasar pemikiran Gus Dur adalah, organisasi dan kebebasan berfikir tidak bisa dilarang karena berkaitan dengan hak asasi manusia.
"Berkumpul dan bersertifikat harus dijamin," kata Adi kepada CNN Indonesia.
Bahkan saat Gus Dur jadi Presiden, ide-ide marxisme diperbolehkan untuk dipelajari. Namun jika paham-paham tersebut pada akhirnya berakibat pada pelanggaran hukum, maka harus ditindak.
"Harus ditindak secara hukum perbuatannya, tapi bukan cara berpikirnya," kata Adi.
Meski aturan yang melarang keberadaanya sudah dicabut oleh Gus Dur, sampai saat ini belum terdengar lagi kiprah organisasi Freemason di Indonesia. Padahal saat berdiri, beberapa tokoh penting pernah menjadi anggotanya.
Sejarawan Adolf Heukeun mengatakan, Freemason di Indonesia pernah memiliki pengaruh besar. Banyak pegawai tinggi Belanda adalah anggota Freemasonry.
Pertemuan yang mereka gelar selalu tertutup di loji-loji yang ada. Masyarakat kerap menjuluki loji tempat mereka berkumpul sebagai rumah setan. Masyarakat menuding ada ritual memuja atau mengundang setan dalam kegiatan perkumpulan ini.
Sumber :
[1] www.cnnindonesia.com/antara-freemasonry-indonesia-soekarno-dan-bung-hatta/
[2] www.cnnindonesia.com/beda-nasib-freemasonry-pada-era-bung-karno-dan-gus-dur/